Asal Usul Festival Duan Wu (Duan Wu Jie/ Peh Cun) atau Dragon Boat Festival
Setiap Tanggal 5 bulan 5 penanggalan kalender Imlek,
Masyarakat Tionghoa dalam tradisinya selalu memperingati sebagai Hari Raya Duan
Wu atau Duan Wu Jie [端午节]. Hari Raya Duan Wu ini telah diperingati semenjak 2000 tahun yang lalu
dan merupakan tradisi yang tak terpisahkan dalam kebudayaan Masyarakat Tionghoa.
Terdapat banyak sebutan untuk Festival Duan Wu, diantaranya adalah Wu Ri Jie [午日节]、Chong Wu
Jie [重五节],Wu Yue Jie [五月节]、Yu Lan Jie
[浴兰节],Tian Zhong Jie [天中节]、dan Shi Ren Jie [诗人节]. Festival Peh Cun di kalangan Tionghoa Indonesia dan dalam Bahasa Inggris sering disebut
dengan Dragon Boat Festival yaitu
Festival Perahu Naga.
Terdapat banyak sekali versi mengenai asal usul tentang
Festival Duan Wu, diantaranya adalah
Cerita tentang kematian Tokoh Patriot Qu Yuan [屈原],
Cerita tentang Perdana Menteri Wu Zi Xu [伍子胥] di Negara Chu yang
Setia dengan Negaranya
Cerita tentang Anak yang berbakti Chao E [曹娥].
Tetapi versi yang paling berpengaruh dan paling banyak
diceritakan adalah mengenai kematian Tokoh Patriot Negara Chu yang bernama Qu Yuan di zaman Chun Qiu Zhan Guo [春秋战国].
Menurut Buku Sejarah “Shi Ji [史记]” biografi Qu Yuan ”Qu Yuan Jia
Sheng Lie Zhuan [屈原贾生列传]”, Qu Yuan adalah seorang Menteri dan juga seorang Sastrawan
Kerajaan Chu [楚国] pada zaman Chun Qiu [春秋]. Raja Chu saat itu adalah Chu Huai Wang [楚怀王].
Qu Yuan menganjurkan beberapa pandangan Politiknya seperti
memperkuat Militer Kerajaan, Memperkuat Ekonomi Kerajaan, Menggunakan
Orang-orang terpelajar dan bijak serta bersekutu dengan Kerajaan Qi untuk
melawan Kerajaan Qin.
Tetapi anjuran-anjuran tersebut semuanya ditentang oleh kaum
bangsawan, dimana para kaum bangsawan telah termakan oleh tak tik adu domba Kerajaan
Qin. Qu Yuan kemudian diberhentikan dari Jabatan kementeriannya dan diusir
keluar dari Ibukota Kerajaan Chu tersebut serta diasingkan ke daerah Yuan dan
daerah Xiang.
Di Pengasingannya tersebut, Qu Yuan menuliskan beberapa karya
Puisi yang menunjukkan kekuatirannya
kepada Negara dan Rakyatnya. Puisi-puisi yang sangat berpengaruh tersebut
diantaranya adalah “Li Sau [离骚]”, Tian Wen [天问]” dan “Jiu Ge [九歌]”.
Pada Tahun 278 Sebelum Masehi, Pasukan Militer Kerajaan Qin
berhasil menguasai Ibukota Kerajaan Chu. Qu Yuan merasa sangat sedih, hatinya
bagaikan ditusuk oleh ribuan pedang. Tapi Qu Yuan tetap saja tidak mau
meninggalkan Negeri tercintanya ini sehingga pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan
Kalender Imlek, Qu Yuan menuliskan Karya Puisi terakhirnya yang berjudul “Huai
Sha [怀沙]”
Qu Yuan Membacakan puisi terakhirnya ssambil mendayung
perahunya ke tengah-tengah sungai Mi Luo, lalu dinyanyikan nya sajak-sajak
ciptaannya yang telah dikenal rakyat sekitarnya, yang isinya mencurahkan rasa
cinta tanah air dn rakyatnya. kemudian dengan memeluk sebuah batu besar, Qu
Yuan melompat ke dalam Sungai “Mi Luo [汨罗]”. Qu Yuan mengorbankan dirinya demi
Kesetiaan dan kecintaannya terhadap negerinya, Negara Chu.
Karena Qu Yuan juga merupakan Sastrawan yang berjasa, maka
Festival Duan Wu juga disebut dengan Shi Ren Jie [诗人节] yaitu hari
Sastrawan Puisi.
Mendengar tentang kematian Qu Yuan, Rakyat Kerajaan Chu
berbondong-bondong menuju ke Sungai Mi Luo dengan tujuan untuk dapat
menyelamatkan Mayat Qu Yuan agar tidak dimakan oleh ikan-ikan atau binatang
sungai lainnya.
Banyak diantara mereka yang menggunakan Perahu berkepala naga
untuk mencari Mayat Qu Yuan yang
diyakini akan mengapung, perahu perahu panjang berkepala naga digunakan untuk
menakut-nakuti roh-roh air yang dipercaya telah menyembunyikan mayat Qu Yuan,
perahu-perahu kepala naga inilah yang bakalnya menjadi sebuah cikal bakal
festival Peh cun. Banyak pula Nelayan yang kemudian melemparkan nasi, telur
ayam dan makanan lainnya ke dalam sungai agar Ikan, Udang dan binatang sungai
lainnya tidak memakan mayatnya Qu Yuan.
Kemudian juga ada yang membungkus nasi-nasi tersebut dengan
daun dan mengikatnya dengan benang berwarna sehingga dapat tengelam kedasar
sungai dalam perkembangannya hingga kini menjadi makanan Bak Cang seperti yang
kita kenal sekarang.
KEGIATAN DAN TRADISI YANG BERJALAN SAMPAI SEKARANG
Lomba Perahu Naga
Tradisi perlombaan perahu naga ini telah ada sejak Zaman
Negara-negara berperang. Perlombaan ini masih ada sampai sekarang dan
diselenggarakan setiap tahunnya baik di Tiongkok Daratan, Hong Kong, Taiwan
maupun di Amerika Serikat dan di Indonesia. Bahkan ada perlombaan berskala
internasional yang dihadiri oleh peserta-peserta dari manca negara, kebanyakan
berasal dari Eropa ataupun Amerika Utara. Perahu naga ini biasanya didayung
secara beregu sesuai panjang perahu tersebut.
Di Indonesia perlombaan perahu naga ini telah lama
diperlombakan pada beberapa tempat pada beberapa kota atau daerah yang banyak
dialiri sungai-sungai yang cukup besar seperti sungai Batanghari (Jambi), Siak
(Pekanbaru), Musi (Palembang), Mahakam (Samarinda dan Tenggarong pada festival
Erau), Kapuas (Pontianak), Barito (Banjarmasin), Cisadane (Tanggerang) atau di
kepulauan yang mempunyai banyak selat seperti di Bau-Bau (Buton), Makasar,
Kendari, Tanjung Pinang dan Batam (Riau) dan bahkan sampai ke Maluku
(Bandaneira), Cilacap dan kepulauan Mentawai dll.
Bagi penduduk Jakarta, perayaan lomba perahu naga yang
dirayakan pada pesta Peh Cun itu lebih dikenal melalui pesta perayaan Peh Cun
di Tangerang yang diperlombakan pada sungai Cisadane yang cukup luas, dan
sekarang menjadi bagian dari festival budaya Cisadane.
Makan bakcang dan kicang
Tradisi makan bakcang secara resmi dijadikan sebagai salah
satu kegiatan dalam festival Peh Cun sejak Dinasti Jin. Sebelumnya, walaupun
bakcang telah populer di Tiongkok, namun belum menjadi makanan simbolik
festival ini. Bentuk bakcang sebenarnya juga bermacam-macam dan yang kita lihat
sekarang hanya salah satu dari banyak bentuk dan jenis bakcang tadi. Di Taiwan,
pada zaman Dinasti Ming akhir, bentuk bakcang yang dibawa oleh pendatang dari
Fujian adalah bulat gepeng, agak lain dengan bentuk prisma segitiga yang kita
lihat sekarang. Isi bakcang juga bermacam-macam dan bukan hanya daging. Ada
yang isinya sayur-sayuran.
Sedangkan kicang atau tanpa isi (tawar), dimasak dengan air
kapur yang terbuat dari pembakaran kulit kerang sehingga dinamakan kicang (Teochew)
atau kicung (Hakka), sehingga kicang menjadi kenyal dan berwarna
kekuning-kuningan. Kicung biasanya dimakan dengan gula pasir atau gula jawa.
Menggantungkan Rumput Ai dan Changpu
Peh Cun yang jatuh pada musim panas biasanya dianggap sebagai
bulan-bulan yang banyak penyakitnya, sehingga rumah-rumah biasanya melakukan
pembersihan, lalu menggantungkan rumput Ai (Hanzi: 艾草) dan
changpu (Hanzi: 菖埔) di depan rumah untuk mengusir dan
mencegah datangnya penyakit. Jadi, festival ini juga erat kaitannya dengan tradisi
menjaga kesehatan di dalam masyarakat Tionghoa.
Mandi Tengah Hari
Tradisi ini cuma ada di kalangan masyarakat yang berasal dari
Fujian (Hokkian, Hokchiu, Hakka), Guangdong (Teochiu, Kengchiu, Hakka) dan
Taiwan. Mereka mengambil dan menyimpan air pada tengah hari festival Peh Cun
ini, dipercaya dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit bila dengan mandi
ataupun diminum setelah dimasak.
Menegakkan telur
Saat ini banyak dari kalangan masyarakat Tionghoa mengadakan
semacam permainan di vihara atau pun tempat tempat umum untuk menegakkan telur
mentah, sehingga terlihat seperti berdiri Fenomena ini dapat terjadi
disebabkan pada tanggal ini Matahari berada tepat di atas garis khatulistiwa,
sehingga gaya gravitasi Bumi menjadi lemah.
Itu sebabnya telur
dapat berdiri di tanah. Fenomena telur dapat berdiri sendiri sesungguhnya pun
dapat dipraktekkan pada saat terjadi gerhana Matahari dan Bulan, akibat gaya
tarik dari Matahari dan Bulan yang meningkat.
Karena dukungan fenomena alam yang ada, maka memberdirikan
telur pun turut menjadi bagian dari Festival Duan Wu Jie setiap tahunnya.