Wednesday, October 21, 2015

Festival Bunga Chrisan Chóngyáng Jié 重阳节



Festival Bunga Chrisan Chóngyáng Jié  重阳

Chóngyáng Jié 重阳 adalah salah satu hari yang di peringati dalam kalender imlek sebagai hari sembahyang/ritual keagamaan, ritual ini mempunyai sejarah panjang +/- 1700 yang lalu, Chóngyáng berarti berulangnya yang unsur positif (dalam pengertian yin dan yang), dalam pandangan etnis Tionghoa angka ganjil 1,3,5,7,9 adalah unsur positif (yang), 2,4,6,8 adalah unsur negatif (yin). angka 9 adalah angka satuan paling top paling tinggi , artinya topnya yang/positif dan selanjutnya akan melorot terjun bebas ke awal lagi/berbalik arah. 

Bagi etnis Tionghoa angka 9 adalah angka paling top yang paling dihindari sebab setelahnya berbalik arah (hokkinya), maka untuk supaya hal-hal buruk tidak terjadi maka diadakan sembahyang dengan persembahan yang mengandung makna baik atau tinggi, bunga crisan ada persaman dengan bunyi 吉 yang artinya baik, di tiongkok saat ini musim bunga crisan, maka saat ritual sering kali disajikan minuman dari bunga crisan ini, baik teh ataupun ciu/arak. ada juga makanan yang terbuat dari crisan. 

secara spiritual hari ini adalah hari baik dipercaya banyak dewata yang mencapai kesempurnaan disaat ini, dan akan banyak dewata yang hadir pula di alam manusia, sehingga aura pada saat hari ini pasti sangat luar biasa, hari ini juga hari yang sangat baik untuk memuja 9 dewata purba yang di pimpin oleh Xuan Tian Sang Di, maka pada saat ini pula apabila kita ada altar beliau saat yang tepat pai kamsia.

Festival Chong Yang (Chong Yang Jie [重阳]) Double nine dalam perkembangannya dewasa ini diartikan Panjang umur ini juga dirayakan sebagai Hari Lansia (Lanjut Usia) oleh Warga Tionghoa. Dimana seluruh anggota keluarga berkumpul dan makan bersama, pergi ke gunung menikmati teh crisan dan jajanan, menuntun anggota keluarga yang paling tua untuk menikmati suasana pemandangan, Seperti Festival-festival Tradisi Tionghoa lainnya, Festival Chong Yang juga memiliki cerita ataupun legenda mengenai asal usulnya.

Berikut ini adalah Cerita mengenai Asal usul Festival Chong Yang :

Konon, pada zaman Dinasti Han Timur, sebuah Sungai yang bernama Ru He [汝河] terdapat Makhluk Jahat yang menyebarkan Penyakit dengan sebutan Wen Mo [瘟魔]. Setiap kali Wen Mo muncul, setiap keluarga pasti ada yang sakit ataupun meninggal dunia. Penduduk sekitar Sungai Ru He tersebut hidup dalam ketakutan dan sangat menderita karenanya.

Orang Tua seorang Pemuda yang bernama Heng Jing [恒景] meninggal dunia akibat Wabah penyakit yang terjadi di sebuah desa sekitar Sungai Ru He. Heng Jing sendiri juga jatuh sakit. Setelah sembuh dari penyakit yang dideritanya, Heng Jing bertekad untuk mempelajari Ilmu Dewa agar mampu membasmi Wen Mo (Makhluk penyebar Penyakit). Heng Jing pun melakukan kunjungan ke segala penjuru untuk mencari guru yang dapat mengajarkan Ilmu Dewa kepadanya. Akhirnya, Heng Jing mendengar bahwa dibagian Timur terdapat seorang Dewa yang berdiam di sebuah Gunung. Heng Jing kemudian pergi ke Gunung yang dimaksud tersebut.

Dewa tersebut mengajari Heng Jing cara untuk membasmi Setan dan juga memberikannya sebuah Pedang Pembasmi Setan. Heng Jing dengan tekun mempelajari semua Ilmu yang diajari oleh Gurunya tersebut. Akhirnya Heng Jing berhasil menguasai Ilmu Pembasmi Setan.

Sang Dewa yang juga merupakan Guru Heng Jing kemudian memanggilnya dan berkata : “ Besok adalah bulan 9 tanggal 9, Makhluk Penyebar Penyakit akan melakukan kejahatannya, kamu telah menguasai semua ilmu yang telah saya ajarkan, sekarang waktunya kamu membantu Masyarakat untuk membasmi Makhluk Penyebar Penyakit ini”. Sang Dewa memberikan Heng Jing sejumlah daun Zhu Yu [茱萸] dan  alkohol bunga Krisan serta mengajarinya cara untuk menghindari Penyakit. Heng Jing kemudian pulang ke kampung halamannya dengan menaiki seekor Burung Bangau.

Sesampainya di Kampung Halaman, tepatnya pada pagi hari bulan 9 tanggal 9, Heng Jing kemudian menyuruh warga Kampung untuk mengungsi ke sebuah Gunung terdekat serta memberikan setiap orang sehelai daun Zhu Yu dan secangkir minuman Alkohol Bunga Krisan untuk bersiap-siap menghadapi si Makhluk Jahat tersebut. Siang hari, tiba-tiba terdengar suara aneh, Makhluk Penyebar Penyakit muncul dari Sungai Ru He. Tetapi sesampai di kaki gunung, Si Makhluk Jahat tiba-tiba berhenti maju karena mencium bau daun Zhu Yu dan juga Alkohol Krisan. Heng Jing yang sudah lama menunggu Makhluk tersebut langsung turun ke kaki gunung dan bertarung dengan si Makhluk Penyebar Penyakit tersebut dengan menggunakan Pedang pemberian Gurunya. Akhirnya Makhluk Penyebar Penyakit (Wen Mo) berhasil dibunuh oleh Heng Jing.

Setelah peristiwa tersebut, kegiatan berpergian ke daratan yang lebih tinggi (gunung) untuk menghindari Penyakit menjadi sebuah Tradisi Tionghoa yang dilakukan setiap bulan 9 tanggal 9 penanggalan Imlek. Lambat laun tradisi tersebut berkembang menjadi sebuah kegiatan doa keselamatan dan kesehatan  warga Tionghoa.  Disamping itu, menurut pandangan orang Tionghoa, angka 9 yang berganda ( 9 – 9) mengartikan panjang umur dan kesehatan. Oleh karena itu, Festival Chong Yang juga merupakan Hari Lansia (Lanjut usia).

Monday, September 7, 2015

Festival Musim Gugur Moon Cakes Festival 中秋节



Festival Musim Gugur



Festival Musim Gugur  atau biasa disebut Moon Cakes Festival (festival kue bulan)
Kue Bulan sebagai makanan tetap perayaan Festival Musim Gugur
Hanzi tradisional:   中秋節
Hanzi sederhana:   中秋

Festival Musim Gugur (Hanzi tradisional: 中秋節; bahasa Tionghoa: 中秋; Pinyin: Zhongqiu Jie; Hokkien=Tiong ciu) atau juga dikenal dengan nama Festival Kue Bulan merupakan hari raya panen dan salah satu festival terpenting di Republik Rakyat Tiongkok adapun perayaan ini seperti perayaan musim-musim selalu dimaknai religius, selain ungkapan syukur atas hasil panen juga ada makna yang lain yang dapat diambil dari cerita hikayat chang e dan hou yi. perayaan ini jatuh pada hari ke lima belas bulan delapan Kalender Tionghoa. Biasanya jatuh pada minggu kedua September sampai minggu kedua Oktober kalender umum.

Festival Musim Gugur dimulai sekitar zaman Dinasti Xia dan Shang (2000-1600 SM). Pada Dinasti Zhou rakyat merayakan dengan cara memuja Bulan. Pada Dinasti Tang tradisi itu lebih jelas dan merakyat. Pada Dinasti Song Selatan (1127-1279 M), orang mulai mengirimkan kue bulan pada rekan dan famili sebagai simbol keutuhan keluarga. Pada malam hari mereka berjalan-jalan keluar dan mengunjungi tepi danau menikmati bulan. Arti dari kue bulan yang bulat terkandung maksud 团圆 (Tuányuán) kumpulnya keluarga besar. kenapa dipilih tgl 15 bulan delapan karena pada saat tersebut posisi bulan sangat dekat dengan bumi dan merupakan bulan purnama yang sempurna, bersinar sangat terang. dewata siapa yang dituju dalam ritual ungkapan syurkur tidak lain adalah 土地公(TǔDì Gōng), karena beliau lah dipercaya panen raya pada hari itu melimpah, jadi apabila dirumah maupun di kelenteng terdapat altar beliau saat yang tepat untuk pai kamsia kepada nya. ( sumber Bpk. Lehman Cristanto)

Pada Dinasti Ming dan Dinasti Qing, tradisi ini menjadi lebih populer. Muncul beberapa kebiasaan seperti menanam pohon musim gugur, menyalahkan lentera dan Tari Naga. Tradisi yang paling utama yang sampai sekarang masih ada adalah bersama keluarga menikmati bulan perak sambil menikmati makanan dan ciu

Legenda Dewi Bulan

 Legenda Dewi Bulan dan Pemanah Matahari
Jaman dahulu kala, di China hiduplah sepasang suami istri. Sang istri bernama Chang ‘E dan suaminya bernama Hou Yi. Kehidupan mereka berubah ketika suatu hari, sepuluh matahari - yang berupa sepuluh ekor burung api yang seharusnya muncul bergantian di langit – tiba-tiba muncul bersamaan, menyebabkan bencana ke bumi. Kekeringan dan kemarau panjang melanda. Hou Yi, seorang pemanah ulung, dengan panah pusakanya berhasil memanah sembilan dari sepuluh matahari itu, menyisakan satu untuk menunjang kehidupan di bumi. Hou Yi menjadi pahlawan dan seharusnya kisah ini berakhir bahagia. Seharusnya.



Berkat jasanya, sang Ratu Langit memberikan hadiah berupa dua buah pil keabadian agar Hou Yi dan Chang ‘E bisa hidup abadi di istana langit. Mereka memutuskan untuk sementara menyimpan pil itu dan menunggu saat yang tepat untuk naik ke langit. Dengan bahagia, pasangan itu menanti hari baik untuk bersama-sama menjadi sepasang Dewa.

Namun malang tak dapat dihindari. Ketika Hou Yi pergi untuk berburu, seorang muridnya yang serakah mencuri pil keabadian tersebut agar dia sendiri bisa menjadi Dewa. Chang ‘E memergoki perbuatannya dan merekapun bergulat memperebutkan benda itu. Dalam kondisi panik, Chang ‘E terpaksa menyembunyikan kedua pil itu di dalam mulutnya dan tanpa sengaja malah menelannya.
 
Karena menelan dua buah pil keabadian sekaligus, tubuh Chang ‘E menjadi amat ringan. Begitu ringan hingga dia tak mampu lagi mempertahankan kakinya agar tetap di tanah. Tubuh Chang ‘E melayang, lebih tinggi dari atap rumah mereka, dan tak lama kemudian ketinggiannya sudah melampaui ujung pohon tertinggi di hutan.

Tepat saat itulah Hou Yi pulang. Melihat istrinya melayang, dia menyadari kalau Chang ‘E pastilah telah menelan kedua pil itu. Hou Yi marah karena mengira sang istri telah mengkhianatinya. Dalam kemarahan, sang pahlawan merentang busurnya, berniat memanah jatuh istrinya sendiri. Beruntung, pada saat terakhir Hou Yi mengurungkan niatnya itu. Dengan hati hancur dia hanya bisa terpaku memandangi sosok sang istri yang makin lama makin jauh.

Chang ‘E melayang di langit, makin tinggi dan tinggi, dan baru mampu mendarat saat tiba di permukaan bulan yang dingin. Tak ada kehidupan di sana. Chang ‘E yang malang hanya bisa menangis tanpa tahu cara pulang ke bumi untuk menjelaskan semuanya pada sang suami. Sang Ratu Langit yang merasa kasihan padanya membuatkan sebuah istana di bulan dan memberikan seekor kelinci untuk menemani hari-hari Chang ‘E yang sepi. Chang ‘E pun menjadi Dewi Bulan.

Di bumi, Hou Yi akhirnya tahu kalau Chang ‘E tak bersalah. Sang murid durhaka mendapat hukuman berat, tapi hanya itu yang dapat dilakukannya. Tak mungkin dia bisa bertemu lagi dengan istrinya yang sudah menjadi Dewi. Tak ada lagi pil keabadian. Dunia mereka sudah berbeda. Yang bisa dilakukan Hou Yi hanya menunggu, berharap suatu saat Chang ‘E akan turun ke bumi mengunjunginya. Maka sejak saat itu, tiap tanggal lima belas bulan ke delapan – hari saat Chang ‘E naik ke langit – Hou Yi menyiapkan kue dan makanan kesukaan sang istri, berharap saat melihat kue itu Chang E akan teringat padanya dan bersedia turun dari istananya di bulan.


Menunggu dan menunggu. Tahun demi tahun berlalu, Hou Yi pun menjadi tua dan akhirnya meninggal dalam kesendirian. Masyarakat sekitar yang kasihan pada nasib malang pahlawan mereka meneruskan kebiasaan Hou Yi, memberi persembahan pada Dewi Bulan tiap tanggal lima belas bulan ke delapan. Itulah asal usul Festival Pertengahan Musim Gugur.

Bila pasangan Gadis Penenun dan Pemuda Penggembala bisa bertemu setahun sekali, seumur hidupnya Hou Yi tak bisa lagi bertemu dengan Chang ‘E. Barulah setelah dia meninggal, Kaisar Langit mengangkat jiwa sang pahlawan menjadi Dewa Matahari dan dengan demikian dia bisa berjumpa kembali dengan istrinya di Istana Bulan.


Kebiasaan diatas berkembang dan dipakai  Dinasti Ming, yang dikaitkan dengan pemberontakan heroik Zhu Yuan Zhang memimpin para petani Han melawan pemerintah Mongol. Pada saat itu rakyat Han menentang pemerintahan Mongol dari Dinasti Yuan, dan para pemberontak yang dipimpin sendiri oleh Zhu Yuan Zhang, merencanakan untuk mengambil alih pemerintahan. Zhu Yuan Zhang bingung memikirkan bagaimana cara menyatukan rakyat untuk memberontak pada hari yang sama tanpa diketahui oleh pemerintah Mongol.

Salah seorang penasehat terpercaya nya akhirnya menemukan sebuah ide. Sebuah berita disebarkan bahwa akan ada bencana besar yang akan menimpa negeri Tiongkok dan hanya dengan memakan kue bulan yang dibagikan oleh para pemberontak dapat mencegah bencana tersebut. Kue bulan tersebut hanya dibagikan kepada rakyat Han, yang akan menemukan pesan “Revolusi pada tanggal lima belas bulan delapan” pada saat membukanya.

Karena pemberitahuan itu, rakyat bersama-sama melakukan aksi pada tanggal yang ditentukan untuk menggulingkan Dinasti Yuan. Dan sejak saat itu kue bulan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Perayaan pertengahan Musim Gugur. Namun sebenarnya, kue bulan telah ada tercatat dalam sejarah paling awal pada zaman Dinasti Song (960-1279). Dari sini, kue bulan dipastikan telah populer dan eksis jauh sebelum Dinasti Ming (1368-1644) berdiri.

Adapun yang lain dari perayaan festival Kue Bulan yang jatuh setiap tanggal 15 bulan 8 juga dipercaya oleh rakyat tiongkok adalah sebagai hari untuk memohon jodoh, dimana hari tersebut bertepatan dengan hari kebesaran dari  YUE XIA LAO REN月下老人 (dewaperjodohan) sehingga perayaannya banyak dihadiri oleh kaum muda mudi untuk sembahyang memohon berkah perjodohan, mencari pasangan maupun berharap dapat melangsungkan pernikahan di tahun tersebut.

di indonesia khususnya sekarang ini ada sebuah tradisi yang sering dijalankan didalam kelenteng bertepatan dengan Zhongqiu Jie yaitu ada istilah pia hoki (pinjam pia atau uang) dimana si pemohon melakukan sembahyang serta pua pwee untuk meminjam pia hoki dari Dewata dikelenteng untuk dikembalikan berlipat di tahun berikutnya, biasa si pemohon akan melipatkan pengembaliaan dari 1 menjadi 2 dan seterusnya sampai mencapai su pwee, diyakini semakin banyak semakin rejeki semakin besar ditahun yang akan datang, apa makna dari tradisi ini?

tradisi ini bermakna selalu berpikiran positif (berlipat naik, tidak ada yg turun rejeki) dan bentuk motifasi untuk bekerja lebih giat, kehidupan manusia tidak bisa tanpa perjuangan tanpa semangat yang tinggi dalam mencapai cita-cita, melalui tradisi ini lah umat kelenteng percaya dan yakin rejeki harus terus naik, makanya tidak ada balikinnya tetap atau malah minus berkurang nilainya, selalu berlipat.




Tuesday, July 28, 2015

T.I.T.D. ENG AN BIO, BANGKALAN - MADURA

T.I.T.D. ENG AN BIO, BANGKALAN - MADURA

Nama : T.I.T.D. ENG AN BIO, BANGKALAN - MADURA
Pujaan Utama : Hok Tik Cin Sin
Alamat : Jl. PB. Sudirman 116 Bangkalan, Madura
Telp : 

Kelenteng T.I.T.D. ENG AN BIO, BANGKALAN - MADURA terletak di dalam kota Bangkalan, merupakan kelenteng yang cukup tua, menurut cerita tanah Kelenteng Eng An Bio merupakan hibah dari Seorang Jendral Tan Kuang Pang. selain kelenteng Eng An Bio terdapat 2 kelenteng lagi di madura, bagi tau jin yang berkeinginan berkunjung / wisata dharma ke Madura sangat sayang pabila tidak lengkap mengunjungi ketiga kelenteng ini.

Berikut beberapa Dokumentasi Kelenteng Eng An Bio, Bangkalan :
















 

T.I.T.D. GIE YONG BIO - (TRIMURTI) LASEM



T.I.T.D. GIE YONG BIO - (TRIMURTI) LASEM 

Gie Yong Bio
Tempat Ibadah Tridharma Gie Yong Bio
Pujaan Utama : Gie Yong Kong Co
Alamat Jalan Babagan nomor 7, Lasem, Rembang
Mulai dibangun  +-1780
Direnovasi  1915

Kelenteng Gie Yong Bio merupakan salah satu tempat peribadatan umat Tridharma yang berlokasi di Kota Lasem, Rembang. Sebagai kota awal pendaratan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa, Lasem juga memiliki dua bangunan kelenteng yang lain, yaitu Po An Bo dan Cu An Kiong. Klenteng ini memiliki keistimewaan karena dibangun untuk menghormati tiga pahlawan Lasem, yaitu Tan Kee Wie, Oey Ing Kiat, dan Raden Panji Margono, sehingga klenteng Gie Yong Bio dianggap sebagai satu-satunya klenteng di Indonesia yang memiliki Kongco pribumi. Penghormatan Raden Panji Margono sebagai dewa oleh komunitas Tionghoa di Lasem dapat disebut unik di seluruh Indonesia, selain menjadi bukti persahabatan leluhur kedua komunitas.

Selain Gie Yong Bio, masih terdapat beberapa kelenteng lain yang memuja pahlawan budaya beretnis non-Tionghoa, meskipun tidak dipuja sebagai Kongco. Misalnya adalah Klenteng Tridharma Weleri yang memiliki rupang Baron Skeder dan Sin Tek Bio yang memiliki altar untuk Raden Mas Imam Sudjono.

Terdapat tiga versi alasan pembangunan Kelenteng Gie Yong Bio.[4] Versi pertama adalah untuk penghormatan dua pahlawan terkenal dari Dinasti Ming (1368-1644) yaitu Chen Sikian dan Huang Daozhou. Marga Tan merupakan bahasa Hokkien untuk Chen (hanzi), sementara Oei adalah bahasa Hokkien untuk Huang.

Menurut versi kedua, kelenteng Gie Yong Bio dibangun untuk menghormati kegagahberanian dua orang leluhur etnis Tionghoa di Lasem, yaitu Tan dan Oei. Keduanya merupakan dua orang Tionghoa pertama yang mendarat di Lasem dari Fujian. Menurut versi ketiga yang paling populer, kelenteng ini dibangun untuk menghormati tiga pahlawan Lasem yang menghadapi VOC pada tahun 1741-1750, yaitu Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat, dan Raden Panji Margono.

Dua versi sebelumnya bisa jadi diangkat untuk menutupi alasan sebenarnya pembangunan Kelenteng Gie Yong Bio, karena kelenteng ini dibangun pada tahun 1780, saat Belanda masih menguasai Indonesia. Belanda dapat dipastikan tidak akan membiarkan pembangunan Kelenteng Gie Yong Bio jika mengetahui alasan pembangunan yang sebenarnya, karena dikhawatirkan dapat membangkitkan kembali semangat perlawanan penduduk Lasem.

Pada tahun 1740, masyarakat Tionghoa di Batavia melakukan pemberontakan melawan pemerintahan Belanda. Pemberontakan etnis tersebut mempengaruhi hampir seluruh Pulau Jawa, meskipun akhirnya berhasil ditekan oleh VOC. Kota Lasem sendiri menjadi basis terakhir pemberontakan. Pada peristiwa itu, etnis Jawa dan Tionghoa bekerja sama.

Raden Panji Margono, putra Tejakusuma V yang menjabat sebagai Adipati Lasem (1714-1727) , mengikat tali persaudaraan dengan Mayor Oei Ing Kiat, yang menjabat sebagai Adipati Lasem menggantikan ayahnya dengan gelar Tumenggung Widyaningrat. Keduanya juga mengangkat sumpah persaudaraan dengan Tan Kee Wie, seorang pengusaha serta ahli kungfu di Lasem.

Pada saat terjadi pengungsian besar-besaran etnis Tionghoa dari Batavia di tahun 1741, ketiganya sepakat untuk mengangkat senjata memberontak terhadap VOC. Mereka bergabung dengan para pejuang Tionghoa lain yang berkumpul di Tanjung Welahan serta mendapat bantuan pasukan pribumi atas restu Pakubuwana II. Pertempuran merambat dari Juwana hingga Rembang dan akhirnya sampai ke Semarang. Meskipun pada awalnya berhasil menguasai sebagian wilayah Semarang, pasukan gabungan Jawa-Tionghoa terdesak mundur setelah pasukan VOC di Semarang memperoleh bala bantuan. Karena kekalahan tersebut, Pakubuwana II mengalihkan dukungannya kepada VOC sehingga menyebabkan istananya di Kartasura diserang dan dikuasai oleh pasukan pemberontak.

Pada tahun 1742, pasukan yang dipimpin ketiganya kembali menyerang Rembang dan Juwana. Setelah kemenangan di Rembang, pasukan VOC yang sudah mengadakan persiapan berhasil mengalahkan mereka di Juwana. Bahkan pada tanggal 5 November 1742, saat melewati selat antara Ujung Watu dan Pulau Mandalika, armada kapal Tan Kee Wie ditembaki oleh meriam sehingga membuatnya gugur bersama pasukan yang ia pimpin. Sisa pasukan melarikan diri kembali ke Lasem setelah datang bala bantuan VOC dari Tuban.

Pada tahun 1950, Raden Panji Margono, Mayor Oei Ing Kiat, dan Kyai Ali Badawi kembali mengobarkan peperangan dengan Belanda. Namun, pertempuran kali ini juga berhasil dimenangkan oleh Belanda. Panji Margono gugur di Karangpace Narukan sementara Oei Ing Kiat gugur di Layur, Lasem-Utara. Untuk menghargai jasa-jasa kepahlawanan Tan Kee Wie, Panji Margono, dan Oei Ing Kiat, masyarakat Tionghoa di Lasem membangun klenteng Gie Yong Bio sebagai monumen peringatan. Ketiganya dihormati sebagai Kongco dan dibuat rupangnya untuk diletakkan di atas altar. Rupang Oey Ing Kiat dan Tan Kee Wie diletakkan berdampingan dan disebut dengan nama Tan Oei Ji Sian Seng (menurut dialek Hokkien), sementara rupang Raden Panji Margono diletakkan pada altar khusus yang terpisah.

Pemindahan dan pemugaran
Tanggal pembangunan Klenteng Gie Yong Bio sudah tidak diketahui lagi. Menurut para sesepuh warga Tionghoa, lokasi klenteng pada awalnya berada di jalan raya, selanjutnya dipindah ke lokasi yang sekarang di Jalan Babagan. Kelenteng ini dipugar pada tahun 1915. ( sumber wikipedia)

Sayang sekali saat berkunjung kesana Kelenteng Gie Yong Bio terkesan kurang terawat, dan ada seorang biokongnya yang sedang sakit, saat ini (21/7/2015) sedang direnovasi, lantai dan altar sangat tidak terawat. 

Berikut beberapa dokumentasi Kelenteng Gie Yong Bio :