Monday, September 7, 2015

Festival Musim Gugur Moon Cakes Festival 中秋节



Festival Musim Gugur



Festival Musim Gugur  atau biasa disebut Moon Cakes Festival (festival kue bulan)
Kue Bulan sebagai makanan tetap perayaan Festival Musim Gugur
Hanzi tradisional:   中秋節
Hanzi sederhana:   中秋

Festival Musim Gugur (Hanzi tradisional: 中秋節; bahasa Tionghoa: 中秋; Pinyin: Zhongqiu Jie; Hokkien=Tiong ciu) atau juga dikenal dengan nama Festival Kue Bulan merupakan hari raya panen dan salah satu festival terpenting di Republik Rakyat Tiongkok adapun perayaan ini seperti perayaan musim-musim selalu dimaknai religius, selain ungkapan syukur atas hasil panen juga ada makna yang lain yang dapat diambil dari cerita hikayat chang e dan hou yi. perayaan ini jatuh pada hari ke lima belas bulan delapan Kalender Tionghoa. Biasanya jatuh pada minggu kedua September sampai minggu kedua Oktober kalender umum.

Festival Musim Gugur dimulai sekitar zaman Dinasti Xia dan Shang (2000-1600 SM). Pada Dinasti Zhou rakyat merayakan dengan cara memuja Bulan. Pada Dinasti Tang tradisi itu lebih jelas dan merakyat. Pada Dinasti Song Selatan (1127-1279 M), orang mulai mengirimkan kue bulan pada rekan dan famili sebagai simbol keutuhan keluarga. Pada malam hari mereka berjalan-jalan keluar dan mengunjungi tepi danau menikmati bulan. Arti dari kue bulan yang bulat terkandung maksud 团圆 (Tuányuán) kumpulnya keluarga besar. kenapa dipilih tgl 15 bulan delapan karena pada saat tersebut posisi bulan sangat dekat dengan bumi dan merupakan bulan purnama yang sempurna, bersinar sangat terang. dewata siapa yang dituju dalam ritual ungkapan syurkur tidak lain adalah 土地公(TǔDì Gōng), karena beliau lah dipercaya panen raya pada hari itu melimpah, jadi apabila dirumah maupun di kelenteng terdapat altar beliau saat yang tepat untuk pai kamsia kepada nya. ( sumber Bpk. Lehman Cristanto)

Pada Dinasti Ming dan Dinasti Qing, tradisi ini menjadi lebih populer. Muncul beberapa kebiasaan seperti menanam pohon musim gugur, menyalahkan lentera dan Tari Naga. Tradisi yang paling utama yang sampai sekarang masih ada adalah bersama keluarga menikmati bulan perak sambil menikmati makanan dan ciu

Legenda Dewi Bulan

 Legenda Dewi Bulan dan Pemanah Matahari
Jaman dahulu kala, di China hiduplah sepasang suami istri. Sang istri bernama Chang ‘E dan suaminya bernama Hou Yi. Kehidupan mereka berubah ketika suatu hari, sepuluh matahari - yang berupa sepuluh ekor burung api yang seharusnya muncul bergantian di langit – tiba-tiba muncul bersamaan, menyebabkan bencana ke bumi. Kekeringan dan kemarau panjang melanda. Hou Yi, seorang pemanah ulung, dengan panah pusakanya berhasil memanah sembilan dari sepuluh matahari itu, menyisakan satu untuk menunjang kehidupan di bumi. Hou Yi menjadi pahlawan dan seharusnya kisah ini berakhir bahagia. Seharusnya.



Berkat jasanya, sang Ratu Langit memberikan hadiah berupa dua buah pil keabadian agar Hou Yi dan Chang ‘E bisa hidup abadi di istana langit. Mereka memutuskan untuk sementara menyimpan pil itu dan menunggu saat yang tepat untuk naik ke langit. Dengan bahagia, pasangan itu menanti hari baik untuk bersama-sama menjadi sepasang Dewa.

Namun malang tak dapat dihindari. Ketika Hou Yi pergi untuk berburu, seorang muridnya yang serakah mencuri pil keabadian tersebut agar dia sendiri bisa menjadi Dewa. Chang ‘E memergoki perbuatannya dan merekapun bergulat memperebutkan benda itu. Dalam kondisi panik, Chang ‘E terpaksa menyembunyikan kedua pil itu di dalam mulutnya dan tanpa sengaja malah menelannya.
 
Karena menelan dua buah pil keabadian sekaligus, tubuh Chang ‘E menjadi amat ringan. Begitu ringan hingga dia tak mampu lagi mempertahankan kakinya agar tetap di tanah. Tubuh Chang ‘E melayang, lebih tinggi dari atap rumah mereka, dan tak lama kemudian ketinggiannya sudah melampaui ujung pohon tertinggi di hutan.

Tepat saat itulah Hou Yi pulang. Melihat istrinya melayang, dia menyadari kalau Chang ‘E pastilah telah menelan kedua pil itu. Hou Yi marah karena mengira sang istri telah mengkhianatinya. Dalam kemarahan, sang pahlawan merentang busurnya, berniat memanah jatuh istrinya sendiri. Beruntung, pada saat terakhir Hou Yi mengurungkan niatnya itu. Dengan hati hancur dia hanya bisa terpaku memandangi sosok sang istri yang makin lama makin jauh.

Chang ‘E melayang di langit, makin tinggi dan tinggi, dan baru mampu mendarat saat tiba di permukaan bulan yang dingin. Tak ada kehidupan di sana. Chang ‘E yang malang hanya bisa menangis tanpa tahu cara pulang ke bumi untuk menjelaskan semuanya pada sang suami. Sang Ratu Langit yang merasa kasihan padanya membuatkan sebuah istana di bulan dan memberikan seekor kelinci untuk menemani hari-hari Chang ‘E yang sepi. Chang ‘E pun menjadi Dewi Bulan.

Di bumi, Hou Yi akhirnya tahu kalau Chang ‘E tak bersalah. Sang murid durhaka mendapat hukuman berat, tapi hanya itu yang dapat dilakukannya. Tak mungkin dia bisa bertemu lagi dengan istrinya yang sudah menjadi Dewi. Tak ada lagi pil keabadian. Dunia mereka sudah berbeda. Yang bisa dilakukan Hou Yi hanya menunggu, berharap suatu saat Chang ‘E akan turun ke bumi mengunjunginya. Maka sejak saat itu, tiap tanggal lima belas bulan ke delapan – hari saat Chang ‘E naik ke langit – Hou Yi menyiapkan kue dan makanan kesukaan sang istri, berharap saat melihat kue itu Chang E akan teringat padanya dan bersedia turun dari istananya di bulan.


Menunggu dan menunggu. Tahun demi tahun berlalu, Hou Yi pun menjadi tua dan akhirnya meninggal dalam kesendirian. Masyarakat sekitar yang kasihan pada nasib malang pahlawan mereka meneruskan kebiasaan Hou Yi, memberi persembahan pada Dewi Bulan tiap tanggal lima belas bulan ke delapan. Itulah asal usul Festival Pertengahan Musim Gugur.

Bila pasangan Gadis Penenun dan Pemuda Penggembala bisa bertemu setahun sekali, seumur hidupnya Hou Yi tak bisa lagi bertemu dengan Chang ‘E. Barulah setelah dia meninggal, Kaisar Langit mengangkat jiwa sang pahlawan menjadi Dewa Matahari dan dengan demikian dia bisa berjumpa kembali dengan istrinya di Istana Bulan.


Kebiasaan diatas berkembang dan dipakai  Dinasti Ming, yang dikaitkan dengan pemberontakan heroik Zhu Yuan Zhang memimpin para petani Han melawan pemerintah Mongol. Pada saat itu rakyat Han menentang pemerintahan Mongol dari Dinasti Yuan, dan para pemberontak yang dipimpin sendiri oleh Zhu Yuan Zhang, merencanakan untuk mengambil alih pemerintahan. Zhu Yuan Zhang bingung memikirkan bagaimana cara menyatukan rakyat untuk memberontak pada hari yang sama tanpa diketahui oleh pemerintah Mongol.

Salah seorang penasehat terpercaya nya akhirnya menemukan sebuah ide. Sebuah berita disebarkan bahwa akan ada bencana besar yang akan menimpa negeri Tiongkok dan hanya dengan memakan kue bulan yang dibagikan oleh para pemberontak dapat mencegah bencana tersebut. Kue bulan tersebut hanya dibagikan kepada rakyat Han, yang akan menemukan pesan “Revolusi pada tanggal lima belas bulan delapan” pada saat membukanya.

Karena pemberitahuan itu, rakyat bersama-sama melakukan aksi pada tanggal yang ditentukan untuk menggulingkan Dinasti Yuan. Dan sejak saat itu kue bulan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Perayaan pertengahan Musim Gugur. Namun sebenarnya, kue bulan telah ada tercatat dalam sejarah paling awal pada zaman Dinasti Song (960-1279). Dari sini, kue bulan dipastikan telah populer dan eksis jauh sebelum Dinasti Ming (1368-1644) berdiri.

Adapun yang lain dari perayaan festival Kue Bulan yang jatuh setiap tanggal 15 bulan 8 juga dipercaya oleh rakyat tiongkok adalah sebagai hari untuk memohon jodoh, dimana hari tersebut bertepatan dengan hari kebesaran dari  YUE XIA LAO REN月下老人 (dewaperjodohan) sehingga perayaannya banyak dihadiri oleh kaum muda mudi untuk sembahyang memohon berkah perjodohan, mencari pasangan maupun berharap dapat melangsungkan pernikahan di tahun tersebut.

di indonesia khususnya sekarang ini ada sebuah tradisi yang sering dijalankan didalam kelenteng bertepatan dengan Zhongqiu Jie yaitu ada istilah pia hoki (pinjam pia atau uang) dimana si pemohon melakukan sembahyang serta pua pwee untuk meminjam pia hoki dari Dewata dikelenteng untuk dikembalikan berlipat di tahun berikutnya, biasa si pemohon akan melipatkan pengembaliaan dari 1 menjadi 2 dan seterusnya sampai mencapai su pwee, diyakini semakin banyak semakin rejeki semakin besar ditahun yang akan datang, apa makna dari tradisi ini?

tradisi ini bermakna selalu berpikiran positif (berlipat naik, tidak ada yg turun rejeki) dan bentuk motifasi untuk bekerja lebih giat, kehidupan manusia tidak bisa tanpa perjuangan tanpa semangat yang tinggi dalam mencapai cita-cita, melalui tradisi ini lah umat kelenteng percaya dan yakin rejeki harus terus naik, makanya tidak ada balikinnya tetap atau malah minus berkurang nilainya, selalu berlipat.